Menakar Pernyataan Panglima TNI Soal Kerawanan Pilkada Aceh

    Menakar Pernyataan Panglima TNI Soal Kerawanan Pilkada Aceh

    Opini - Mari sejenak kita menengok kebelakang untuk menelaah hasil Pilkada Aceh tahun 2017. Pilkada yang diawali dengan bayang-bayang kerawanan terjadi kekerasan bersenjata oleh mantan kombatan GAM, mengingat Pilkada Aceh 2017 diramaikan oleh keikutsertaan beberapa elite mantan GAM, seperti Mualem, Zakaria Saman, Irwandi Yusuf, Dr. Zaini Abdullah dan Sayed Mustafa.

    Pada acara rapat dengar pendapat TNI dengan Komisi I DPR RI tanggal 21 Maret 2024, Panglima TNI Jendera Agus Subiyanto menyatakan bahwa Aceh memiliki indeks kerawanan tinggi pada Pilkada serentak 2024 mendatang.

    Alasan Panglima TNI karena Partai Lokal disinyalir menjadi wadah aspirasi para mantan kombatan GAM, hal ini berpotensi memicu konflik horizontal, apabila hasil Pilkada tidak memenuhi harapan salah satu kandidat.

    Mengamati pernyataan Panglima TNI pada rapat dengan Komisi I DPR-RI, terkesan merefleksikan perjalanan damai Aceh belum mampu mendorong tumbuhnya etika demokrasi dalam panggung politik di Aceh.

    Sementara jika dikatakan Partai Lokal adalah wadah bagi aspirasi para mantan kombatan GAM, memang sejatinya Partai Lokal adalah perangkat politik untuk mentransformasikan GAM dari gerakan bersenjata menjadi gerakan politik, dalam rangka mewujudkan rekonsiliasi pada kerangka kedaulatan Indonesia.

    Walaupun pada tahap persiapan hingga tahap kampanye, berdasarkan data Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) kasus kekerasan Pilkada terjadi 26 kali sebelum pemungutan suara. Angka ini menurun drastis dari 167 kasus kekerasan yang ditemukan di Pilkada Aceh 2012.

    Ada satu peningkatan yang patut diapresiasi dari Pilkada Aceh 2017, yakni berkoalisinya partai lokal Aceh dengan partai nasional, yang pada pilkada sebelumnya koalisi tak dipandang sebagai langkah politik yang menarik.

    Dua pasangan calon (paslon) didukung oleh gabungan partai lokal dan partai nasional, sementara satu paslon dari jalur partai lain hanya didukung oleh partai nasional.

    Paslon nomor urut lima, Muzakir Manaf-T.A. Khalid, didukung oleh Partai Aceh, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Bulan Bintang (PBB).

    Sementara paslon nomor urut enam, Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah, didukung oleh Partai Nasional Aceh (PNA), Partai Damai Aceh (PDA), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Demokrat, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

    Hasil penghitungan suara akhir Pilkada Aceh 2017, pasangan Irwandi-Nova meraih suara terbanyak dan berhasil menduduki kursi Gubernur Aceh.

    Fenomena menarik dari Pilkada Aceh 2017 dan patut diberi apresiasi adalah sikap politik menjunjung tinggi etika demokrasi yang ditunjukan oleh para mantan elite GAM kontestan Pilkada. Bahkan beberapa saat setelah Pilkada, Irwandi Yusuf mengundang Mualem untuk bersama-sama membangun dan mengawal damai Aceh.

    Sesungguhnya Aceh yang belum lama keluar dari carut marut konflik bersenjata, tetapi mampu membangun iklim politik demokrasi, sebagai wujud dari pendidikan politik terhadap rakyat Aceh.

    Masyarakat Aceh dan kandidat yang bertarung di Pilkada Aceh  2017  mulai sering menggunakan pendekatan kekeluargaan atau hukum dalam menyelesaikan persoalan Pilkada.

    Upaya provokasi pasca pemungutan suara ada, tapi tidak berhasil memainkan emosi masa pendukung paslon. Pelanggaran yang ditemukan juga tidak merusak suasana Pilkada Aceh yang damai.

    Kualitas Pilkada di Aceh terus menerus mengalami peningkatan kualitas demokrasi. Pilkada pertama di Aceh diselenggarakan hanya beberapa bulan setelah keluarnya pernyataan bergabungnya Aceh dengan Republik Indonesia, dan tingkat partisipasinya adalah 91 persen. Ini yang membuat Aceh selalu disebut sebagai contoh penyelenggaraan Pilkada sukses yang dilaksanakan di masa transisi dalam diskursus pemilu internasional. Mungkin akan lebih bijak jika dikatakan Indonesia sudah saatnya bercermin kepada Aceh dalam membangun etika demokrasi.

    Mengamati persoalan  kerawanan di Aceh yang berpotensi memicu konflik social, sesungguhnya adalah akumulasi kekecewaan rakyat Aceh terhadap buruknya kinerja eksekutif dan legislative Aceh   dalam mewujudkan clean government dan pengelolaan keuangan daerah, telah memberi dampak yang amat luas bagi kepentingan hajat hidup rakyat Aceh.

    Kondisi rakyat Aceh yang belum mampu keluar dari persoalan kemiskinan dan lapangan pekerjaan, ditengah glontoran dana yang melimpah, adalah persoalan yang memerlukan perhatian semua pihak, jika tidak ingin issue kemiskinan dieksploitasi oleh kelompok anti damai Aceh, untuk memicu terjadinya instabilitas keamanan di Aceh pada Pilkada Aceh 2024.

    Kita seharusnya lebih focus pada maneuver perjuangan diplomatic ASNLF di fora Internasional yang kerapkali mengintrodusir isue kemiskinan dan pelanggaran HAM sebagai thema sentral untuk menyudutkan Pemerintah Indonesia dan memprovokasi rakyat Aceh.[]

    Adi Kampai

    Adi Kampai

    Artikel Sebelumnya

    IKPS Kota Batam Salurkan Bantuan Untuk Korban...

    Artikel Berikutnya

    Pengukuhan Ketua Umum PSSB Al Hikmah, Ramadhani...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Tony Rosyid: Ikut Pilgub Jakarta, Anies Disambut Antusias Para Pendukungnya
    Perkuat Sinergitas Dalam Penanganan Kasus Kekerasan, DP3AP2KB Gelar Rakor Lintas Sektoral
    Pemko Payakumbuh Apresiasi SMPN 4 Pada Gelar Wisuda Tahfiz Kedua Kalinya
    MTsN 10 Pesisir Selatan Adakan Acara Perpisahan Kelas 9 Sebanyak 192 Orang, Kepala Madrasah Tidak Hadir
    Luar Biasa, Pemko Bukittinggi Kembali Raih Opini WTP Kesebelas Secara Berturut- Turut

    Ikuti Kami